Oleh: Betti Alisjahbana
Tertangkap basahnya anggota Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal ketika menerima suap sejumlah Rp.500 juta di lift Hotel Aryaduta dari Presiden Direktur First Media Billy Sundoro menambah panjang daftar aktivis dan idealis yang terperangkap kasus korupsi ketika mereka memiliki kekuasaan. Muhammad Iqbal adalah mantan Ketua Presidium Dewan Mahasiswa ITB tahun 1977, aktivis Salman, dan Ketua Bidang Kekayaan PB HMI hingga 1981.
Sebelumnya Mulyana W. Kusumah, tenaga pengajar di FISIP UI yang aktif di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), pendiri sejumlah organisasi seperti Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI), Komite Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) dan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), juga tersandung kasus korupsi. Mulyana yang pada saat itu adalah Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertangkap basah menyuap auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Khairiansyah Salman pada 8 April 2005.Tertangkapnya Mulyana kemudian membuka kasus korupsi yang lebih besar di tubuh KPU dan menyeret Ketua KPU Dr. Nazarudin Sjamsuddin, seorang dosen dan Guru Besar di FISIP UI ke meja hijau. Nazarudin Sjamsuddin di vonis 6 tahun penjara setelah terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pengumpulan dana taktis dari rekanan KPU dan pengadaan asuransi bagi anggota KPU.
Terungkapnya kasus korupsi pada tokoh-tokoh masyarakat yang sebelumnya dianggap idealis dan pembela yang lemah menimbulkan pertanyaan besar : Mengapa merekapun terjerat korupsi? Dalam artikel ini saya mencoba menganalisanya.
Korupsi Telah Mendarah Daging
Praktik korupsi di Indonesia terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari urusan kecil yang menyangkut pelayanan masyarakat di tingkat kelurahan, hingga rekayasa penggunaan anggaran di lembaga-lembaga pemerintah. Sedemikian parahnya sampai kita masuk peringkat kelima negara terkorup di dunia versi lembaga Transparency International Indonesia (TII). Dalam survei yang dilakukan TII di 32 kota terhadap 1760 responden, seluruh responden mengaku selalu dimintai uang pelicin ketika berinteraksi dengan institusi publik termasuk lembaga peradilan.
Dalam banyak kasus, korupsi di Indonesia bukan hanya didorong oleh motif pribadi pelakunya, tetapi juga karena merasa harus beradaptasi pada lingkungan atau sistem yang korup. Secara psikologis, seorang pegawai cenderung merasa tidak nyaman dan tidak aman jika tidak korup apalagi melaporkan kasus korupsi, karena akan dicap sebagai “sok bersih” atau “sok pahlawan” oleh rekan-rekannya. Lambat laun mereka yang hidup dalam lingkungan yang korup ini menjadi sulit untuk membedakan mana yang korupsi dan mana yang tidak, karena hal-hal yang sebetulnya korupsi sudah menjadi sesuatu yang wajar dilakukan oleh semua orang. Apalagi bila di tambah dengan kenyataan bahwa sebagian dari mereka tidak bisa mencukupi biaya hidup apabila hanya mengandalkan gaji saja.
Rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, sikap permisif dan kompromis, lemahnya perangkat hukum, hingga lemahnya komitmen para penegak hukum, menjadi faktor dominan, kenapa korupsi tumbuh subur di masyarakat. Praktik - praktik korupsi ini, menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang sangat luas. Proses pembangunan tidak berjalan dengan semestinya karena uang yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat malah masuk ke kantong - kantong pribadi. Apalagi di saat negara tengah menghadapi persoalan berat seperti pengangguran, kemiskinan dan terancamanya anggaran akibat pengaruh ekonomi global, praktik korupsi, dipastikan akan semakin menambah beban negara dan rakyat.
Power Tends to Corrupt, and Absolute Power Corrupts Absolutely
Observasi di atas dinyatakan oleh John Emerich Edward Dalberg Acton, atau lebih dikenal sebagai Lord Acton pada tahun 1887. Ia adalah seorang ahli sejarah dan moralis. Kekuasaan memang telah membuat banyak politisi korupsi. Pada awal karirnya banyak dari mereka mempunyai idealisme dan semangat untuk merubah sistem. Mereka ingin membantu yang lemah dan miskin dan membasmi korupsi dan kesewenang-wenangan. Tetapi ketika mereka ada diposisi yang berkuasa ceritanya menjadi lain. Mereka menjadi lebih senang bergaul dan meyenangkan para penguasa, baik di pemerintahan maupun korporasi. Dan di atas semua itu, mereka sibuk berusaha meningkatkan kekuasaan dan kekayaannya sendiri.
Kekuasaan membuat orang mempunyai kecenderungan untuk korupsi, apalagi bila kekuasaan itu tidak diimbangi dengan rambu-rambu pembatas dan pengawasan yang memadai. Itu pula yang saya duga menyebabkan Mohammad Iqbal, Mulyana W. Kusumah dan Nazarudin Sjamsuddin terjerumus dalam jeratan korupsi.
Fokus di dalam memberantas korupsi selama ini banyak pada penangkapan koruptor dan kurang pada pencegahan terjadinya korupsi. Korupsi terjadi karena ada niat dan ada kesempatan. Governance yang lemah membuka kesempatan korupsi. Itu sebabnya penerapan Good Governance menjadi sangat penting sebagai langkah pencegahan. Empat elemen Good Governance adalah adanya: akuntabilitas, partisipasi masyarakat, kepastian hukum dan transparansi. World Bank mengatakan Good Governance dapat menghasilkan perbaikan tingkat kehidupan di negara berkembang sampai tiga kali lipat. Menurut Daniel Kaufman, Director Global Governance, World Bank Institute, negara dengan pendapatan per kapita $ 2000 per tahun, dapat meningkat menjadi $ 6000 dalam jangka panjang bila mereka memperbaiki governance-nya. Peningkatan tajam itu sebagai akibat dari perbaikan jumlah investasi baik dari dalam maupun luar negeri, penggunaan alokasi dana masyarakat dalam kontrol pemerintah yang lebih baik dan juga penggunaan SDM yang lebih baik.
Beberapa Kabar Baik
Korupsi adalah masalah nasional dan semua komponen masyarakat harus terlibat didalam memeranginya. Di antara banyaknya kabar buruk tentang korupsi, beberapa hal positif yang perlu kita syukuri diantaranya adalah, KPK dibawah kepemimpinan Antasari Azhar sejauh ini telah menunjukan kinerja yang baik. Di antaranya KPK telah berhasil menangkap basah kasus suap untuk mengubah hutan lindung, kasus korupsi pengadaan kapal patroli dan terakhir kasus suap menyangkut persaingan usaha.
Dunia pendidikan tinggi seperti Universitas Paramadina telah mulai memainkan peran sesuai dengan cakupan kerjanya yaitu pendidikan, dengan menerapkan pendidikan anti korupsi dengan bobot 2 SKS. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa pendidikan anti korupsi itu harus dimulai sejak dini, tapi tidak berarti dunia pendidikan tinggi lalu bisa berpangkutangan. Pendidikan tinggi justru menjadi fase terakhir pendidikan formal bagi generasi muda yang akan memasuki dunia nyata, baik di sektor swasta, pemerintahan, maupun civil society. Karena itu pembekalan mahasiswa dengan pengetahuan, semangat, dan ketrampilan anti-korupsi menjadi penting. Kita berharap, pendidikan antikorupsi bukan sebuah pilihan, tapi merupakan suatu keharusan -- sebagai ikhtiar kolektif untuk membongkar tradisi dan praktik korupsi di Indonesia.
Ketika berita di berbagai media dipenuhi berita buruk tentang maraknya korupsi di Indonesia, Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) tahun ini untuk ketiga kalinya akan memberikan penghargaan kepada tokoh pejabat publik yang selain tidak korupsi juga menunjukan usaha nyata untuk membersihkan lingkungannya dari korupsi. Sebagai ketua dewan juri, saya sungguh gembira bahwa ternyata kami berhasil mendapatkan tiga orang pemenang yang kiprahnya dalam memerangi korupsi mengagumkan. Para pemenang ini akan diumumkan pada tanggal 28 Oktober nanti dan diharapkan dapat menjadi teladan yang bisa memberikan inspirasi dan mempengaruhi lebih banyak orang untuk aktif mencegah dan memerangi korupsi.
Mari kita turut aktif untuk mencegah dan memerangi korupsi.
Salam hangat penuh semangat.