Kamis, 25 Desember 2008

Sumber Inspirasi itu Telah Pergi



Selasa 16 Desember jam 23:10, sms mengagetkan itu datang : “ Mas Is telah meninggalkan kita selamanya”. Badan saya terasa lemas. Sejak sore hari, ketika Mario melaporkan perkembangan keadaan mas Is di ICU, saya terus berdoa agar Mas Is bisa sembuh. Tapi Allah SWT berkehendak lain, Mas Is ternyata harus meninggalkan kami.

Mas Is adalah panggilan kami untuk Prof. Iskandar Alisjahbana. Banyak yang mengira, almarhum adalah ayah saya, padahal Ia adalah kakak suami saya, Mario. Mas Is adalah kakak ipar yang sangat saya kagumi. Selain pandai, progressive dan berwawasan luas, Ia juga seorang guru dan motivator yang efektif. Ketika kabar meninggalnya beredar, banyak sekali ucapan bela sungkawa yang kami terima, banyak diantaranya bukan sekedar ungkapan bela sungkawa, namun juga ungkapan penghargaan dan kesan-kesan khusus tentang Mas Is.

Kini saya semakin merasakan betapa saya beruntung berkesempatan untuk mendapatkan masukan dan pandangan-pandangan beliau. Di acara kumpul-kumpul keluarga besar Alisjahbana, yang biasanya berlangsung di vila keluarga di desa Tugu, Puncak Bogor, Mas Is dan saya hampir selalu terlibat dalam pembicaraan serius dan seru. Ada banyak hal yang sama-sama menarik perhatian kami. Bagi saya, berdiskusi dan berdebat dengan Mas Is selalu sangat menarik. Mas Is selalu punya pemikiran-pemikiran yang sangat original dan jauh kedepan.

Hal yang unik dari Mas Is adalah, di setiap kesempatan bertemu, Ia selalu menyelipkan tantangan untuk melakukan hal yang lebih. Misalnya, ketika saya masih di IBM, dan sudah menduduki posisi Presiden Direktur selama 8 tahun, Mas Is sering bertanya :” Betti, masih di IBM juga ? Mau cari apa lagi kamu di situ ? Ayo bikin sesuatu yang baru dong.”

Dua tahun belakangan ini, ketika saya diangkat menjadi Anggota Wali Amanah ITB, mas Is semakin rajin mengajak saya diskusi. Mas Is ingin hal-hal yang belum berhasil direalisasikan ketika beliau menjabat Ketua Majelis Wali Amanah ITB bisa diteruskan. Misalnya saja, Mas Is ingin ITB tidak menjadi menara gading, melainkan tempat di mana technopreneurship tumbuh dan berkembang dan menjadi pendorong tumbuhnya industri berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Ketika masih aktif di ITB dulu, Mas Is memang merintis technopreneurship di kampus. Beliau berpendapat bahwa masyarakat Perguruan Tinggi tidak boleh hanya mengejar Academics-Excellence berikut Titel Dr, Ir saja. Tetapi Academic-science harus didampingi Corporate-Science, supaya lapangan-pekerjaan (yang berbasis Science & Technology) dapat terbentuk dan terbina. Dengan semangat technopreneurship yang dimilikinya, Mas Is mendirikan dua perusahaan, PT RFC pada tahun 1970 serta PT Pasifik Satelit Nusantara tahun 1992.

Hal lain yang sering menjadi topik diskusi kami adalah tentang IPR dan Open source. Dibawah ini adalah petikan dari artikel yang pernah ditulisnya untuk Qbheadlines.com :

Lawrence Lessig, seorang guru besar ilmu Hukum di Universitas Stanford USA, mempunyai pemikiran yang agak bertolak belakang dengan pemikir ilmu ekonomi pada umumnya. Beliau membedakan dua macam komoditas ekonomi. Yang pertama adalah komoditas ekonomi berbentuk benda fisik, seperti mobil, rumah atau kebun. Macam komoditi yang kedua adalah komiditas intelektual.

Jika kawan Anda meminjam mobil Anda, maka Anda tidak dapat lagi menggunakan atau men- dayagukan mobil tersebut. Tetapi jika komoditas intelektual berupa penemuan, pemikiran dan inovasi Anda dipinjam, ditiru, diubah, diperbaiki atau didayagunakan oleh orang atau masyarakat lain, maka Anda tetap tiap saat masih dapat mengembangkan dan mendayagunakan penemuan dan pemikiran Anda semula, yang ditiru tadi, yang kemungkinan besar berbentuk lain sekali dari yang ditiru kawan Anda tadi. Menurut Lawrence Lessig ini adalah fenomena dasar pemekaran, pengembangan dan pembaharuan budidaya masyarakat pada umumnya. Ini adalah cara pengembangan budidaya masyarakat yang paling alamiah dan yang terpenting terjadi setiap masa beratus tahun lampau, di seluruh masyarakat dunia.
“Re-mixing is how Culture gets made” adalah perumusan asli dari Prof. Lawrence Lessig.

“Development as Freedom” atau “Pemberdayaan Budidaya adalah hak azasi Manusia” , adalah kata mutiara pemenang hadiah Nobel Amarthia Sen yang mendukung sangat teori atau pemikiran Lawrence Lessig. Menurut pemikir-pemikir kelompok ini, pelaksanaan dan perpanjangan waktu aturanmain Intelectual Property Right yang berlaku sekarang ini, adalah sebagian besar hasil karya atau manipulasi para ilmuwan yang dibiayai oleh para industriawan raksasa.

Di sinilah muncul - pada waktu yang tepat sekali - kecendekiawanan dan kreavitas para dosen, mahasiswa dan ilmuwan MIT dengan penemuan Open Source Software Movement, yang penulis namakan Open Source Capitalism, yang mungkin sekali kelak merambat ke bidang ilmu lainya. Indah dan tepat sekali kecendekiawanan MIT yang mampu menemukan dan memperbaharui aturan main kompetisi dan kooperasi Level and Even Playing Field ahli filsafat Adam Smith. Semua software dan courseware boleh ditiru, dipergunakan dan diperbaiki oleh siapa saja, demi kebaikan dan percepatan perkembangan budidaya masyarakat dunia.

Sebagai kesimpulan akhir hanya dapat dikatakan bahwa perjalanan sejarah atau Conscious Evolution, budidaya manusia selanjutnyalah yang akan menentukan aturan main . Level and Even Playing Field Capitalism yang mana, yang pasar ekonomi global akan kembangkan dan gunakan di kemudian hari.

Selamat jalan Mas Is. Semoga Mas Is mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT dan cita-cita Mas Is bisa kami teruskan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Dude, so much AD here, why not clean them all?

Anonim mengatakan...

At someone alphabetic 邪谢械泻褋懈褟)))))