Banyak orang mengasosiasikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lalu, kekuasaan dan wewenang itulah yang dijadikan alat untuk memimpin, untuk mencapai tujuan-tujuan kepemimpinannya.
Pemimpin-pemimpin terbaik justru bekerja dengan melayani. Sebagai pemimpin, mereka melihat perannya adalah melayani timnya, agar potensi-potensi terbaik dari timnya ini dapat dimunculkan. Mereka meng-coach, membimbing, mementori, dan memberikan dorongan. Itulah sejatinya yang dilakukan seorang pemimpin: melayani.
Bulan lalu, sebagai ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA), saya mendapat kehormatan untuk menghayati apa arti kepemimpinan yang sejati. Dua pemenang BHACA 2010 adalah Walikota Solo, Joko Widodo, dan Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto. Keduanya sungguh merupakan contoh ideal pemimpin yang sukses karena melayani rakyat yang dipimpinnya.
Mendengarkan Sambil Mentraktir Makan Ala Jokowi
Sementara di banyak tempat kekerasan menjadi alat yang diandalkan untuk memaksakan relokasi PKL (pedagang kaki lima), di Solo Jokowi menggunakan cara yang jauh berbeda. Para pedagang ini dia ajak berdialog sambil makan. Ketika kenyang, seseorang akan lebih mudah diajak berbicara, dalihnya.
Para PKL ini diyakinkan bahwa relokasi adalah jalan yang jauh lebih baik. Kepada mereka diberikan kios di tempat yang baru, SIUP, dan TDP gratis agar mereka dapat menjadi pedagang formal yang bisa memimjam uang dari Bank. Tidak jarang dialog sambil makan itu harus dilakukan berkali-kali oleh Jokowi, sebelum mereka akhirnya berhasil diyakinkan. Jokowi mendengarkan keluh kesah mereka dan mencarikan jalan keluar bagi mereka. Alhasil, ribuan PKL itu dengan suka rela bersedia direlokasi.
Sebagai akibatnya, Solo pun menjadi kota yang tertata apik, dengan jalur hijau dan jalur pejalan kaki yang nyaman. Bukan hanya itu, Pendapatan Asli Daerah Solo yang didapatkan dari pasar juga mencapai Rp19,2 miliar, lebih tinggi ketimbang pendapatan yang berasal dari hotel sebesar Rp7 miliar, parkir Rp1,8 miliar, atau papan reklame Rp4 miliar.
Selama 40 tahun periode sebelum Jokowi memimpin, tak satu pasar pun dibangun di Solo. Dalam 5 tahun kepemimpinannya, ada 15 pasar dibangunnya. Daerah-daerah lain mengeluhkan anggaran yang tidak mencukupi. Namun, Jokowi punya pendekatan yang berbeda dalam menyiasati anggaran ini.
Sebelumnya, anggaran yang terbatas disebarkan merata sehingga masing-masing daerah mendapatkan porsi anggaran yang kecil, sehingga hasilnya menjadi serba tanggung. Jokowi lalu memilih fokus kepada satu bidang saja setiap tahun, namun konsepnya dibuat secara matang, dilaksanakan dengan perencanaan yang baik, serta diawasi dengan betul sehingga hasilnya menjadi signifikan, bagus, dan tidak ada kebocoran.
Tahun berikutnya, ia memfokuskan anggaran untuk bidang yang lainnya. Semua dilaksanakan dengan kualitas yang baik, sehingga penggunaan anggarannya menjadi sangat efisien. Banyak yang berhasil dicapai oleh Jokowi. Selain 15 pasar yang berhasil dibangunnya, pembangunan taman kota, trotoar bagi pejalan kaki, perbaikan administrasi pelayanan, pengembangan green belt di tepi sungai Bengawan Solo sepanjang 7 kilometer pun telah membuat Solo menjadi kota yang nyaman dihuni.
Melayani Ala Herry Zudianto
Herry yang berlatar belakang entrepreneur sudah biasa melayani pelanggan. Saat menjadi walikota, paradigmanya pun tetap sama: melayani. Kepada jajaran Pemkot Yogya, dia menanamkan sikap “saiyeg sak eko kapti” (bersatu dalam cita), “saiyeg sak eko proyo” (bersatu dalam karya) dalam melakukan reformasi birokrasi dan mewujudkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat.
Dalam kepemimpinannya, Herry berhasil mengembangkan berbagai inovasi layanan publik, khususnya di sektor investasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lingkungan hidup. Dinas perijinan satu pintu dibangunnya untuk memangkas proses perijinan yang berbelit-belit.
Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan masyarakat diwujudkannya dalam pembuatan APBD yang transparan dan partisipatif. Saluran untuk menyampaikan masukan pun dibuat melalui mekanisme komplain elektronik yang dikenal sebagai UPIK (Unit Pelayanan Informasi keluhan).
Pendekatan yang memberdayakan, yang dilakukan oleh Herry, telah membuat masyarakat Yogya sangat terlibat dalam memecahkan berbagai masalah publik—sesuatu yang sangat disyukuri oleh Herry. Terbukti, indeks persepsi korupsi dan indeks good governance Kota Yogyakarta sangat bagus, yakni peringkat pertama untuk indeks persepsi korupsi pada tahun 2008.
Banyak pemimpin pemerintah maupun swasta mencapai tujuannya dengan menggunakan kekuasaan dan wewenang yang dia miliki. Namun, pemimpin yang paling efektif adalah ketika mereka dapat mempengarui orang lain dengan cara yang menyentuh hati dan merebut respek, karena mereka mau mendengar, menghayati, dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Kalau Jokowi dan Herry bisa, tentu kita pun bisa menjadi pemimpin yang melayani.
Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana
Kamis, 11 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar