Minggu, 07 September 2008

Mengikis Budaya ABS

Oleh : Betti Alisjahbana

Minggu lalu beberapa media menampilkan cerita menyedihkan yang menimpa Yuni Veronika, juara dunia catur berusia 11 tahun asal Riau yang terlunta-lunta nasibnya karena tidak punya biaya untuk pulang ke Riau. Yuni diundang untuk menghadiri Upacara Peringatan HUT RI ke 63 di Jakarta, dan malamnya bersama-sama anggota Paskibra dijamu makan malam oleh Bapak SBY di Istana Kepresidenan. Namun rupanya panitia tidak menyediakan biaya transportasi yang mengakibatkan Yuni dan ayahnya terlunta-lunta. Setelah kejadian ini Yuni mengaku kapok.

Menganalisa kejadian di atas, saya menyimpulkan, ketika panitia mengundang Yuni ke istana, fokus mereka bukan pada Yuni, tapi pada Bapak SBY. Tujuan mereka mengundang Yuni, bukan untuk memberikan penghargaan padanya, memotivasinya agar lebih semangat dan berprestasi dan juga merangsang generasi muda Indonesia yang lain agar berprestasi di tingkat dunia. Melainkan, mereka ingin membuat Bapak SBY senang bahwa banyak generasi muda Indonesia yang berprestasi. Maka, apa yang terjadi sesuai dengan tujuan semula, Bapak SBY senang bertemu dan melihat anak-anak Indonesia berprestasi, sementara Yuni kapok.

Saya jadi teringat cerita yang mirip yang disampaikan pelatih vokal saya. Pada peringatan hari anak-anak beberapa tahun yang lalu, pelatih saya itu membimbing satu rombongan anak-anak yang akan tampil menunjukkan kebolehannya. Pada hari itu semua yang akan tampil sudah diharuskan ada di lokasi sejak pagi hari sekali, jauh sebelum acara di mulai dan jauh sebelum Bapak Presiden hadir. Mereka kepanasan dan kelaparan. Jadilah hari anak-anak yang seharusnya memberikan kebahagiaan pada anak-anak ini menjadi hari penyiksaan anak-anak demi memberikan citra yang baik pada Sang Kepala Negara bahwa acaranya berjalan tepat waktu, lancar dan aman. Semua perhatian tertuju pada Sang Pimpinan dan lupa apa inti dan makna acara ini sebernarnya.

Asal Bos Senang (ABS) adalah budaya yang sudah terpupuk sejak jaman Orde Baru dulu. Sebuah budaya usang yang harus segera di buang apabila kita ingin maju. Budaya ini meletakkan pimpinan sebagai pusat perhatian. Pimpinan begitu sakral dan harus dihormati. Pada budaya ini para birokrat merasa bahwa mereka hanya bisa bertahan dan sukses bila mereka bisa membuat bos senang. Bila perlu data dil apangan di agar tampak cantik di mata Sang Pemimpin.

Desakan kompetisi yang ketat telah membuat organisasi bisnis lebih cepat menyadari pentingnya perubahan orientasi dari membuat senang bos ke membuat senang pelanggan. Mereka sudah merasakan bahwa pelanggan mempunyai banyak pilihan dan pilihan akan dijatuhkan pada organisasi yang menawarkan produk-produk yang inovatif, layanan prima dan harga yang menarik. Pemimpin yang baik sadar betul bahwa persaingan terjadi semakin ketat dan perubahan terjadi semakin cepat. Untuk itu mereka harus merubah orientasi yang tadinya kedalam menjadi keluar. Yang tadinya pemimpin memberikan perintah dan dilaksanakan oleh jajaran di bawahnya menjadi membangun kepemimpinan disemua lini dalam organisasi.

Pemimpin-pemimpin di lapangan ini harus tau persis apa yang terjadi di pasar, mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat demi memenangkan persaingan dan demi kebaikan organisasinya. Pimpinan puncak tidak lagi menjalankan top down leadership, dimana ia mengambil semua keputusan dan jajaran di bawahnya melaksanakan melainkan memfasilitasi terjadinya bottom up leadership. Pada bottom up leadership, meskipun pimpinan puncak tetap membangun visi dan memberikan arahan, tapi ide-ide dan kepemimpinan bisa datang dari mana saja di dalam organisasi. Agar ini terjadi pemimpin harus bisa menjalankan berbagai peran : katalis, pelatih, motivator dan cheerleader. Dan jelas, Ia tidak akan membiarkan ABS (Asal Bos Senang) terjadi. Penghargaan akan diberikan kepada mereka yang berprestasi dan memberikan kontribusi nyata, bukan sekedar membuat bos senang.

Bila orientasi keluar bisa terjadi di organisasi bisnis, bisakah ini terjadi di pemerintahan? Tentu saja bisa. Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan yang memberikan fokus pada layanan masyarakat. Masyarakat yang menjadi fokusnya dan berbagai program di buat dengan tujuan utama mencapai kepuasan mereka. Berbagai dialog pun dilakukan agar sang kepala daerah punya interaksi langsung dengan masyarakatnya dan bisa tau apa yang terjadi di sana. Pertanyaan berikutnya, bisakah ini terjadi di pemerintah pusat?

Budaya ABS berkembang pesat di era kemimpinan Presiden Soeharto dimana selama 32 tahun memerintah sistem politik yang kental dengan asas monoloyalitas diterapkan. Era kepemimpinan Presiden Habibie merupakan masa transisi pada pintu keterbukaan dan demokrasi yang mengantarkan pada Pemilu 1999 dengan perangkat UU politik yang baru. Dunia politik di Indonesia kemudian memasuki multipartai dengan 48 parpol menjadi peserta pemilu. Perubahan ini secara progresif dilanjutkan pada Pemilu 2004 dimana untuk pertama kalinya presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Proses itu kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada). Demokrasi yang memberikan kekuasaan yang besar pada masyarakat luas harusnya menghasilkan kan pemerintahan yang berorientasi pada masyarakat, jadi timbul pertanyaan yang menggelitik mengapa kita belum merasakan manfaat yang signifikan dari penerapan demokrasi Berapa lamakah kita harus menanti sampai masa transisi ini berakhir?

Perubahan yang terjadi boleh dikatakan masih bergerak pada level pola tata politik dan pemerintahan secara prosedural. Era transisi dan konsolidasi demokrasi adalah proses yang panjang dan terus berlangsung. Perlu partisipasi semua pihak untuk mengawal dan meyakinkan demokrasi yang telah dan tengah berlangsung ini memberikan kebaikan yang diinginkan bagi masyarakat luas. Dan para pimpinan negara, terutama Presiden, mempunyai peran yang sangat penting untuk mengubah budaya ABS. Presiden harus mempimpin prakarsa ini dengan menolak segala bentuk penghormatan yang berlebihan dan memberikan insentif yang jelas untuk tidak mempraktekkan ABS. Presiden pun harus meminta semua menteri untuk melakukan hal yang sama. Fokus yang lebih besar harus diberikan kepada masyarakat bukan kedalam birokrasi. Pemilu sudah semakin dekat, mudah-mudahan kita bisa memilih pemimpin yang terbaik untuk bangsa Indonesia.

2 komentar:

EDI KOTO mengatakan...

Salam kenal Buk Betti Alisjahbana, anak Pujangga Sutan Ali Sahbana, kali ya??

Anonim mengatakan...

iya, ya... kasihan sekali.... dasar manusia tak beradab... (maksudnya: orang2 yang berpaham abs itu...)